Bedah Buku (Pedoman Guru Humanis) Bersama Guru-Guru Hebat dari Eka Tjipta Foundation

Bedah Buku (Pedoman Guru Humanis) Bersama Guru-Guru Hebat dari Eka Tjipta Foundation

Penulis: Junaidi (SMK)   

Pada tanggal 21-23 April 2025, guru-guru dari Grup Eka Tjipta Foundation melakukan studi banding di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Mereka lebih banyak belajar tentang budaya humanis Tzu Chi dari sekolah kita. Hal ini mewajibkan mereka untuk belajar bagaimana menjadi guru yang humanis. Oleh sebab itu, dari pihak sekolah kita meminta kepala sekolah SMA (Pak Purwanto) untuk bedah buku (Pedoman Buku Humanis) bersama guru-guru dari Grup Eka Tjipta Foundation.

Pada saat pelaksanaan studi banding ini, Pak Purwanto karena sakit dan harus rawat inap, maka sesi bedah buku ini diberikan kepada saya. Dalam waktu yang cukup singkat, saya mempersiapkan diri dengan mempelajari kembali filosofi dari buku Pedoman Guru Humanis.

Tanggal 22 April 2025, saya mengajak teman guru dari Grup Eka Tjipta Foundation untuk membahas bagian-bagian utama dari buku Pedoman Guru Humanis. Berikut adalah materi yang kami bahas.

TEMA DISKUSI: “Mengasah Diri Menjadi Guru Humanis yang Menjernihkan Hati”

“Pendidikan adalah suatu upaya menjernihkan hati dan pikiran manusia. Jika dilakukan dengan baik, pendidikan adalah sumber harapan dan kekuatan untuk menstabilkan masyarakat.”

Kegiatan ini diawali dengan pengantar tentang Misi Pendidikan Tzu Chi, yang bertujuan menumbuhkan cinta kasih dan kemanusiaan, baik pada pemberi maupun penerima pendidikan. Dalam konteks ini, guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga panutan nilai dan pembina hati.

Setelah menjelaskan Misi Pendidikan Tzu Chi, saya mulai kegiatan bedah buku hari ini. Dari bagian 1-10 yang saya tampilkan, saya meminta guru-guru dari Grup Eka Tjipta Foundation untuk membaca dan memberikan pendapatnya terlebih dahulu. Setelah 1-2 orang guru memberikan pendapatnya, terakhir saya memberikan kesimpulan.

Bagian 1: Filosofi

Di dalam pendidikan terkandung 4 unsur luhur, yaitu cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin.

“Cinta kasih” berarti memberi kebahagiaan kepada anak didik, agar ia merasakan kedamaian dan ketenteraman. Guru mengasihi murid bagaikan orang tua mengasihi anak, berharap mereka berbahagia seumur hidupnya.

“Welas asih” berarti berharap anak didik terhindar dari penderitaan seumur hidupnya.

“Sukacita” berarti berharap anak didik dapat dipenuhi sukacita dan berpandangan luas seumur hidupnya.

“Keseimbangan batin” berarti ikhlas memberi tanpa sedikit pun rasa pamrih, hanya berharap anak didik dapat mencapai keberhasilan.

Kesimpulan:

Filosofi pendidikan yang luhur menekankan pada pemberian kasih sayang, harapan akan kebahagiaan, dan ketulusan tanpa pamrih. Pendidikan sejati membentuk karakter anak dengan dasar cinta dan niat tulus untuk menjadikan mereka manusia yang bahagia, bebas dari penderitaan, penuh sukacita, dan seimbang secara batin.

Bagian 2: Pendidikan Kehidupan

Mendidik anak-anak bukan hanya meminta mereka belajar dan menjawab soal ujian, melainkan harus membimbing mereka untuk bertutur kata baik, melakukan kebajikan, serta mengajarkan mereka untuk berbakti sejak dini dan menghormati guru. Ini adalah langkah awal untuk membina mereka agar memahami cara menjadi manusia seutuhnya dan menjalani kehidupan, serta mengerti pentingnya kepedulian antar sesama manusia.

Kesimpulan:

Pendidikan kehidupan adalah pembentukan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Anak perlu diarahkan bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam sikap, kebajikan, dan hubungan antarmanusia agar tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.

Bagian 3: Pendidikan Moral

Semoga semua orang tidak memandang rendah diri sendiri, sebaliknya harus menghormati diri sendiri serta berusaha mengembalikan budaya Tionghoa yang telah tertanam sejak dahulu. Pendidikan Tzu Chi membekali murid dengan pendidikan budi pekerti yang berlandaskan kemurahan hati, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan kepercayaan, serta mengutamakan bimbingan karakter. Inilah pendidikan manusia seutuhnya, dan juga merupakan pendidikan karakter yang menyeluruh.

Kesimpulan:

Pendidikan moral adalah fondasi dalam mengembalikan nilai-nilai luhur budaya dan membentuk pribadi yang bermartabat. Melalui pendidikan karakter, anak diajarkan untuk menghargai diri sendiri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Bagian 4: Pendidikan Budaya Humanis

Guru harus mengembangkan cinta kasih dan kesabaran bagaikan seorang fisioterapis, mengembalikan rasa hormat terhadap guru, bakti kepada orang tua, serta moralitas yang mulai memudar dalam diri para murid, sehingga nilai-nilai etika tradisional ini dapat kembali merasuk dalam hati manusia. Untuk memberi terapi pada orang lain, guru harus men-terapi diri sendiri terlebih dahulu. Caranya, terlebih dahulu menampilkan dan menjaga citra dari diri sendiri yang tampak dari luar, kemudian barulah dapat memperindah kondisi di dalam batin.

Kesimpulan:

Pendidikan budaya humanis menekankan bahwa guru adalah teladan hidup. Dengan cinta kasih dan kesabaran, guru berperan sebagai penyembuh moralitas yang memudar, sekaligus harus menyucikan diri sendiri terlebih dahulu sebelum membina orang lain.

Bagian 5: Pendidikan Cinta Kasih

Pendidikan masa kini sangat mengedepankan pendidikan yang berfundamen cinta kasih, tetapi tidak dapat membedakan antara “mengasihi” dan “memanjakan”, yang akibatnya menimbulkan masalah-masalah di dunia pendidikan. Oleh karenanya, lebih tepat disebut sistem pendidikan yang “memanjakan” daripada “mengasihi”. Anak-anak dibiarkan berkembang secara bebas, bagaikan pohon yang tidak terurus di mana ranting dan daunnya dibiarkan tumbuh tidak terawat rapi. Sungguh memprihatinkan melihat anak-anak tumbuh dewasa dalam kondisi masyarakat saat ini yang sarat dengan kekerasan dan pertentangan, akibatnya anak hidup terombang-ambing mengikuti arus pergaulan dan lingkungan.

Kesimpulan:

Cinta kasih sejati dalam pendidikan bukan berarti memanjakan, tetapi membimbing dengan disiplin dan perhatian. Anak-anak perlu kasih sayang yang menguatkan dan membentuk karakter, bukan yang membuat mereka lemah dan kehilangan arah.

Bagian 6: Hati Seorang Guru

Seorang guru yang baik seperti petani ulung: memahami waktu, tanah, dan cara bertani yang tepat. Agar ladangnya subur, perlu belajar teknik bercocok tanam dari petani. Seorang petani harus mengerti akan kondisi cuaca dan waktu yang cocok untuk bercocok tanam, ini dari segi iklim; memahami sifat tanah, ini yang berhubungan dengan tanah. Ia juga harus memahami cara bertani, ini dari segi manusia. Dengan begitu, akan diperoleh hasil panen yang berlimpah. Guru yang baik hendaknya seperti seorang petani, memahami karakter muridnya, menggunakan pendekatan yang tepat dalam mendidik dan membimbing murid-muridnya agar mereka dapat berjalan di jalan yang benar.

Kesimpulan:

Guru adalah penabur benih masa depan. Dengan hati yang peka dan cara yang bijak, mereka membimbing murid agar bertumbuh dalam kebaikan, seperti petani yang tekun menciptakan panen yang melimpah.

Bagian 7: Kehormatan dan Kewibawaan Guru

Seringkali kita menasihati generasi muda untuk menaati dan menghormati guru, tetapi seorang guru juga harus menjaga kewibawaannya sehingga bisa dihormati murid-muridnya. Kewibawaan yang dimaksud bukan berarti memiliki kedudukan yang tinggi, akan tetapi hendaknya lebih berlapang dada dan ramah, dan dengan cinta kasihnya menumbuhkan kebijaksanaan dari generasi ke generasi. Murid membutuhkan inisiatif dan pengertian dari guru, karena itu guru hendaknya berinisiatif dalam memberikan kebijaksanaan dan pengetahuan.

Kesimpulan:

Kewibawaan guru lahir dari keteladanan dan kasih sayang yang tulus. Hanya dengan ketulusan, kebijaksanaan, dan keikhlasan, guru dapat menjadi pribadi yang benar-benar dihormati oleh muridnya.

Bagian 8: Metode Belajar Mengajar

Belajar melalui pengalaman langsung seperti menjadi relawan di daerah bencana atau rumah sakit dapat membangkitkan rasa kemanusiaan dan empati murid, meskipun bukan bagian dari pelajaran formal. Belajar bersyukur melalui semangat kemanusiaan mendorong murid-murid memasuki daerah miskin untuk membantu mereka, ataupun ke rumah sakit untuk menjadi relawan. Meskipun bukan pelajaran yang diadakan di dalam kelas, tetapi hal ini juga merupakan suatu pendidikan batin. Anak yang pada mulanya tidak paham bagaimana cara mengasihi orang lain, setelah berkunjung ke daerah bencana untuk memberi perhatian pada orang yang tertimpa bencana, dengan mata kepala sendiri menyaksikan penderitaan dan ketidakkekalan, secara alami telah membangkitkan semangat kemanusiaan mereka, dengan sukarela ikut serta melakukan tindakan membantu orang lain.

Kesimpulan:

Pendidikan terbaik adalah yang menyentuh hati. Dengan membawa murid mengalami langsung penderitaan dan ketidakkekalan, mereka belajar bersyukur, berempati, dan membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya.

Bagian 9: Pengetahuan Nurani dan Potensi Bajik

Tujuan dari pendidikan adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan siswa, terutama kebijaksanaan mereka, bukan kepintaran. Ada yang mengatakan pengetahuan sama dengan kebijaksanaan, sebenarnya keduanya berbeda. Pengetahuan didapat dari belajar, yang mana disebut kepintaran. Sedangkan kebijaksanaan dibawa sejak lahir, berupa sifat yang baik dan jernih, atau disebut juga cinta kasih yang paling baik.

Kesimpulan:

Pendidikan sejati tidak hanya mengasah otak, tetapi juga menghidupkan hati nurani. Cinta kasih dan kebijaksanaan adalah inti dari manusia yang seutuhnya, dan harus menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan.

Bagian 10: Hati Orang Tua

Jangan menjadikan nilai dan prestasi sebagai tolak ukur masa depan seorang anak, karena kedua hal tersebut tidak saling terkait dengan pasti. Biarkan anak-anak tumbuh secara alami. Semakin besar tekanan orang tua terhadap anak, maka perlawanan dari anak juga akan semakin besar. Bahkan dapat menyebabkan timbulnya perilaku “Lari dari Kenyataan” pada diri anak. Orang tua tidak dapat menggantikan anak untuk makan maupun belajar, lantas apa yang dapat diperbuat oleh orang tua? Maka, berikanlah kebebasan kepada anak dan tuntunlah mereka untuk berjalan di jalan yang benar.

Kesimpulan:

Orang tua harus membimbing, bukan memaksakan. Dengan kasih yang bijak dan pengertian, mereka dapat mendampingi anak tumbuh dalam kemandirian dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan bahagia.

Sesi Penutup:

Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar soal mengajar di kelas atau mengejar nilai. Pendidikan adalah tentang menyentuh hati, membentuk karakter, dan membimbing anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia yang utuh. Guru dan orang tua punya peran penting sebagai teladan—bukan hanya dalam ilmu, tetapi juga dalam sikap, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Dengan cinta yang tulus, kesabaran, dan keikhlasan, kita bisa membantu anak-anak menemukan arah hidup mereka, menjadi pribadi yang peduli, berakhlak, dan kuat menghadapi kehidupan. Ketika pendidikan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, maka yang tumbuh bukan hanya kecerdasan, tetapi juga hati nurani yang jernih dan jiwa yang tangguh.

Terima kasih kepada semua pembaca dan semua peserta dalam kegiatan ini. Gan en.