Merefleksi Diri Atas Jiwa Nasionalisme
Salah satu indikator negara yang kuat bisa dilihat dari kecintaan warga negara terhadap bangsanya. Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita diharapkan mencintai bangsa dan tanah air seutuhnya. Kecintaan itu sudah ditanamkan sejak usia kanak-kanak. Penanaman sikap sebagaimana yang dimaksudkan itu dilakukan melalui berbagai cara. Pembelajaran lagu-lagu nasional di sekolah-sekolah tidak lain adalah bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negaranya sendiri.
Nasionalisme adalah sebuah ideologi yang berdasarkan rasa cinta terhadap tanah kelahirannya. Rasa cinta dalam nasionalisme akan mewujudkan sikap untuk memperjuangkan kepentingan bangsa atau negara. Secara asal kata, kata nasionalisme berasal dari kata “nationalism” atau “nation” dalam bahasa Inggris. Dalam penelitian kemaknaan, kata “nation” berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu “natio,” yang berakar dari kata “nascor” yang berarti ‘aku lahir’, atau dari kata “natus sum,” yang berarti ‘aku dilahirkan’ (Wikipedia Bahasa Indonesia).
Ada banyak cara untuk memupuk jiwa nasionalisme dalam konteks keindonesiaan, seperti tayangan film sejarah kemerdekaan, memperkenalkan keberagaman budaya yang sangat beragam, menyanyikan lagu-lagu nasional, penyajian keindahan alam yang sangat memukau, mulai dari pegunungan, laut, pantai, pedesaan dengan pertanian yang hijau, hingga rumah adat dan pakaian adat yang khas di setiap identitas daerahnya masing-masing.
Perubahan zaman di mana teknologi digital dan canggihnya perangkat aplikasi gadget sangat memudahkan pengguna untuk mengakses semua informasi yang diinginkan. Adanya problem mental selalu ingin tahu apa yang ada di semua belahan dunia ini menjadikan anak-anak muda (khususnya) tidak cukup akrab dengan bangsanya sendiri, tidak cukup bangga dengan bangsanya sendiri, dan tidak mengerti negaranya sendiri. Justru semakin menggandrungi apa yang ada di belahan negara lain. Fenomena idola artis luar negeri (K-Pop, misalnya) menjadi semakin masif dan memengaruhi pola atau gaya hidup kaum milenial di negeri Nusantara ini. Seiring berjalannya waktu, budaya Korea banyak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari para pencinta budaya Korea, fashion, make-up, Korean skincare, makanan, gaya bicara, hingga bahasa.
Ada hal yang menarik baru-baru ini mulai menggejala, di mana pada perhelatan sepak bola di Indonesia, tepatnya setelah pertandingan full time, suporter Indonesia, dalam posisi menang atau kalah, melakukan ritual mempersembahkan lagu nasional “Tanah Airku” dengan posisi para pemain berada di tengah lapangan. Momen ini menggugah haru bagi semua yang berada di tengah stadion. Bahkan, bisa mengundang tangis sebagian yang ada di tengah riuh haru tersebut. Dan ada fakta lain, di mana momen ini mengundang para konten kreator untuk membuat konten yang menarik kemudian dipublikasikan di berbagai media sosial dan terbukti mendapat apresiasi dari netizen.
Menurut penulis, lagu nasional “Indonesia Raya” dan “Tanah Airku” di lapangan hijau lebih memupuk rasa nasionalisme daripada di sekolah maupun kantor/instansi, baik swasta maupun pemerintah, bahkan istana negara. Mengapa? Karena dalam nuansa sepak bola, luapan perasaan emosi pemain di stadion dan penonton yang sangat semangat mendukungnya. Mulai dari pra-pertandingan, perjuangan untuk mendapatkan tiket, dan bagi pemain merasakan perjuangan “jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan,” dengan taruhan untuk kemenangan dan kebanggaan harga diri bangsa dan negara. Hal ini juga dirasakan oleh para penonton, walaupun yang hanya via live TV. Dari puncak semangat ini, maka apapun hasil pertandingannya (kalah atau menang), ungkapan rasa syukur dengan ritual menyanyikan lagu “Tanah Airku” bersama semua yang ada di dalam stadion pasca-pertandingan menjadi ajang tumbuhnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi.
Menilik eksistensi kegiatan upacara bendera dalam konteks efektivitas penanaman jiwa nasionalisme, ada satu ironi yang boleh penulis katakan bahwa upacara bendera yang ada di sekolah-sekolah, kantor/instansi swasta maupun pemerintah sepertinya tidak (belum) mampu memupuk rasa nasionalisme bagi para pelajar maupun pegawai/karyawan. Penilaian ini semoga tidak berlebihan jika benar-benar kita menilik nuansa jalannya upacara bendera tersebut. Berawal dari rasa nasionalisme yang rendah. Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI tahun 2015 menyatakan wawasan kebangsaan dan rasa nasionalisme atau bela negara rakyat Indonesia masih sangat rendah. Saat ini, Indonesia berada di urutan ke-95 dari 106 negara di dunia.
Berbagai kalangan seperti guru, siswa, pejabat pemerintah/dinas, dan para pegawainya masih menjadikan kegiatan upacara hanya sebagai rutinitas saja. Kegiatan upacara cenderung kurang disukai, bahkan mengikuti upacara terkesan hanya setor muka saja. Maka hal ini sangat dibutuhkan konseptor bidang pendidikan untuk mengubah fikrah bangsa kita bahwa upacara bendera bukan hanya formalitas belaka, tetapi sebagai ajang berkhidmat kepada bangsa dan negara. Ada beberapa poin menurut penulis untuk mengubah pola dan rasa upacara dari sekadar rutinitas menuju ritual kebangsaan dalam upaya memupuk jiwa nasionalis, dengan cara:
Perlu tambahan waktu untuk persiapan (sarapan pagi) dan briefing sebelum upacara agar tujuan utama upacara berjalan dengan efektif. Kemudian, ada refleksi pasca-upacara. Karena jika hanya 40 menit saja, hampir semua peserta upacara merasa dikejar-kejar waktu untuk kegiatan berikutnya.
Ciptakan nuansa keteladanan bagi semua kalangan, baik guru dan kepala sekolah, kepala kantor/instansi, dan pegawainya agar rasa upacara menjadi ajang semangat bersama membangun kemajuan bangsa dan negara.
Keikutsertaan upacara sebaiknya diimbau melalui penyadaran, bukan sebagai kewajiban (paksaan), sehingga jika ada yang tidak mengikuti upacara, bukan lagi mendapat hukuman fisik atau sanksi administrasi, tetapi berilah penyadaran dengan penuh cinta kasih.
Bekali siswa dan kalangan pegawai agar bisa menghafal lagu-lagu nasional, karena dengan itu setidaknya mampu mempertebal rasa cinta kepada negara Republik Indonesia.
Wallahu a’lam.
Penulis: A. Bukhori