Master Cheng Yen dan Mother Theresa: Dua Wanita Hebat yang Berhati Bodhisattva
Mengenal dua tokoh besar seperti Master Cheng Yen dan Mother Theresa adalah pengalaman yang sangat berharga dalam hidup saya, terlebih ketika dapat merasakan ajaran-ajaran mulia yang mereka terapkan. Kedua wanita ini, meskipun berbeda latar belakang agama dan budaya, memiliki satu kesamaan: hati yang penuh cinta kasih kepada sesama. Dalam artikel ini, saya ingin berbagi pengalaman dan ketertarikan mendalam saya terhadap mereka.
Master Cheng Yen adalah seorang biksuni dari Taiwan yang penuh dedikasi terhadap kesejahteraan sesama. Beliau mendirikan Yayasan Buddha Tzu Chi dengan empat misi utama: amal, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis. Pengalaman mendalam yang mendorong Master untuk mendirikan Tzu Chi adalah ketika ia melihat seorang ibu yang ditolak di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan. Dengan keyakinan yang kuat, Master Cheng Yen bersama murid-muridnya mulai mengumpulkan dana pada Mei 1966 di Hualien untuk membantu orang-orang miskin.
Sementara itu, Mother Theresa, lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu, adalah seorang biarawati asal Albania yang juga sangat menyentuh kehidupan banyak orang miskin. Melayani di India, Mother Theresa mendirikan Misionaris Cinta Kasih, suatu komunitas biarawati yang berkomitmen untuk melayani “yang termiskin di antara yang miskin”. Kisah hidupnya dipenuhi dengan dedikasi terhadap mereka yang tertinggal dan terpinggirkan, terutama dalam masyarakat India yang terbelah oleh sistem kasta.
Kedua wanita luar biasa ini memulai misi cinta kasih mereka tanpa modal besar, hanya dengan tekad untuk membantu sesama. Master Cheng Yen memulai dengan 50 sen NT, sedangkan Mother Theresa hanya berbekal lima rupee dan sandal. Pengorbanan kecil mereka tumbuh menjadi gerakan cinta kasih yang menyentuh banyak kehidupan di seluruh dunia.
Menemukan Ajaran Mother Theresa di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi
Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, tempat saya mengajar, adalah tempat di mana misi cinta kasih Buddha dan ajaran Master Cheng Yen diterapkan. Awalnya, saya merasa sedikit aneh ketika pertama kali diwawancara sebagai calon guru agama Katolik di sekolah Buddha. Tetapi seiring waktu, saya mulai memahami bahwa cinta kasih tidak memiliki garis batas. Sebagai guru agama Katolik di lingkungan Buddha, saya menemukan ajaran-ajaran Mother Theresa diterapkan di sini.
Salah satu hal unik yang saya alami di Tzu Chi adalah kebiasaan beranjali, yaitu menyambut siswa dengan kedua tangan dirapatkan di dada dan kepala sedikit menunduk. Pada awalnya, saya merasa aneh, karena biasanya guru yang dihormati oleh siswa, tetapi di sini guru yang menunduk di depan siswa. Melalui beranjali, saya belajar bahwa menghormati orang lain berarti mengangkat mereka dan menempatkan mereka lebih tinggi dari diri kita. Ini adalah tindakan kecil yang mengajarkan makna mendalam dari cinta kasih dan penghormatan.
Mother Theresa pernah berkata, “Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Di Tzu Chi, hal-hal kecil seperti menundukkan kepala sambil mengucapkan “gan en” (terima kasih) menunjukkan cinta yang besar, walau tampak sederhana. Cinta kasih ini adalah benang merah yang menghubungkan ajaran-ajaran Master Cheng Yen dan Mother Theresa, menjadikan pengalaman saya di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi sangat berarti.
Kesimpulan
Master Cheng Yen dan Mother Theresa adalah teladan luar biasa dalam menunjukkan bahwa cinta kasih lintas batas agama, budaya, dan bangsa. Mereka membuktikan bahwa tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta dapat membawa perubahan besar di dunia. Di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, saya merasa beruntung dapat mengalami ajaran cinta kasih ini dalam bentuk-bentuk sederhana, namun bermakna.
Penulis : Eduardus Laot, S.S.