Ruang Sunyi Pustakawan

Ruang Sunyi Pustakawan

(Sebuah Analisis atas Perda Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perpustakaan)

Sebuah perpustakaan adalah jantung pendidikan, pusat belajar, dan sarana belajar sepanjang hayat. Banyak sekali slogan yang dapat kita dengar tentang perpustakaan. Begitu megahnya slogan-slogan tersebut. Namun, kesadaran dan tindakan sering kali tidak seimbang dan senada dengan jargon yang begitu menarik. Sampai saat ini, perpustakaan adalah ruang sunyi dalam satuan pendidikan dan ruang tambahan demi sebuah akreditasi.

 

Kesadaran atas pentingnya perpustakaan dimulai sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Di sana diatur secara rinci jenis perpustakaan, fungsi, dan tenaga perpustakaan. Selanjutnya, muncullah beberapa instrumen pendukung UU 43 Tahun 2007 ini, berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014, Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan, Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Sekolah/Madrasah, dan juga Peraturan Pemerintah Daerah DKI Nomor 2 Tahun 2017. Semua perangkat tersebut bertujuan untuk mencapai satu tujuan yaitu perpustakaan yang memadai dan dapat membangun masyarakat seutuhnya. Seperti slogan Perpustakaan Nasional; “Literasi Mensejahterakan.”

 

Perpustakaan merupakan lembaga yang dapat dijadikan pusat belajar segala jenis ilmu, mengasah keterampilan, menanamkan kemandirian, memberikan pembelajaran yang mumpuni untuk hidup yang lebih baik dan lebih layak ke depannya. Karena perpustakaan adalah jantung, pusat aktivitas, sumber energi, dan memompa kehidupan yang sejahtera untuk masyarakat.

 

Karena itu, Perda Nomor 2 Tahun 2017 ini ditetapkan agar Jakarta dapat menjadi contoh bagi daerah lain tentang keseriusan pemda dalam mengantarkan masyarakat sejahtera melalui perpustakaan. Semua hal terkait kemajuan pengelolaan dan tenaga perpustakaan sudah dibahas dalam perda tersebut. Tentunya, semua mengacu pada undang-undang dan peraturan pemerintah terkait dengan perpustakaan.

Perda sudah ditetapkan sejak 2017, tetapi geliat untuk serius mengurus perpustakaan belum terlihat dari para pemangku kebijakan. Terlihat dari beberapa hal yang saat ini terjadi. Misalkan tentang pengelolaan perpustakaan yang sudah diatur standarnya oleh Perpustakaan Nasional selaku penanggung jawab atas penyelenggaraan perpustakaan. Sampai saat ini, perpustakaan masih dikelola oleh orang-orang seadanya. Cara pengelolaan perpustakaan pun seadanya. Sehingga perpustakaan hanya sekadar ada, terutama di sekolah.

 

Masih banyak sekolah-sekolah di Jakarta ini, pengelola perpustakaannya adalah guru yang kurang jam mengajar. Tidak mempunyai keahlian khusus dalam mengelola perpustakaan. Sehingga perpustakaan hanya menjadi gudang buku, tempat menaruh karyawan yang kurang produktif, dan dijalankan sebisanya saja. Padahal perda sudah ada, kenapa sampai saat ini perpustakaan di DKI Jakarta masih banyak yang belum sesuai standar.

Setiap kali akan ada lomba perpustakaan tingkat nasional, selalu saja yang terjadi adalah penunjukan, bukan berproses dari awal. Melakukan pembinaan, pelatihan, dan pendampingan yang semestinya sesuai perda yang ada. Dari banyak sekolah dikeluhkan tentang kurangnya pembinaan, sehingga guru yang diberikan tugas tambahan pengelolaan perpustakaan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Selain pembinaan, hal lain yang masih menjadi masalah mendasar adalah ketimpangan pelayanan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Beberapa kali ada kegiatan bimbingan untuk sekolah, tetapi saat dikonfirmasi, kegiatan tersebut hanya untuk sekolah negeri. Sehingga sekolah-sekolah swasta hanya dapat menunggu giliran yang entah kapan itu akan terwujud. Di sisi lain, kita dituntut untuk mengikuti akreditasi perpustakaan agar dapat penilaian standar sesuai yang telah ditetapkan. Dalam instrumen akreditasi, nilai Bimtek dan Diklat sangatlah tinggi, sedangkan Diklat jarang atau bahkan tidak pernah diadakan oleh pemerintah daerah. Semua hanya mengandalkan Diklat dari Perpusnas yang kuotanya harus diperebutkan oleh seluruh Indonesia. Ini sangat memprihatinkan bagi semua sekolah.

Anggaran untuk pengembangan perpustakaan, baik dari sisi lembaga maupun dari sisi tenaga, masih dirasa sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah terkait pengembangan perpustakaan secara keseluruhan. Dana yang diperuntukkan untuk pengembangan perpustakaan tidak jelas, hanya disebutkan sumbernya saja seperti yang tertera dalam Pasal 34, sedangkan di setiap sekolah sudah ditetapkan bahwa anggaran untuk perpustakaan sekurang-kurangnya 5% dari anggaran belanja sekolah di luar anggaran untuk honor dan perbaikan gedung, seperti tertera dalam Pasal 29 ayat 7.

Jika dalam perda tersebut atau dalam peraturan gubernur misalnya, dapat menjelaskan secara detail besaran anggaran untuk perpustakaan, hal ini akan lebih baik. Sehingga keterbatasan dana dan tidak terlaksananya kegiatan dapat teratasi dengan baik. Tidak akan ada lagi istilah perpustakaan hanya mengandalkan dana sisa dari anggaran yang ada di daerah. Cukup miris sebenarnya jika beberapa saat yang lalu ramai dibicarakan tentang anggaran pendidikan yang begitu besar, sedangkan anggaran perpustakaan yang juga merupakan pusat pendidikan sepanjang hayat untuk masyarakat, kekurangan dana sehingga tidak dapat berjalan dengan baik programnya. Perpustakaan dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Jika seseorang tidak dapat mengecap pendidikan secara formal, maka perpustakaan dapat menjadi sarana belajar gratis untuk masyarakat. Masyarakat yang berwawasan, masyarakat yang cerdas, dan masyarakat yang sejahtera berawal dari kuatnya dan mapannya literasi dari setiap individu. Jika pendidikan formal tidak terjangkau oleh kalangan kurang mampu, perpustakaan adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.

Berbicara tentang perpustakaan, pasti akan berbicara tentang penyelenggaraannya dan keberadaannya. Penyelenggaraan perpustakaan seharusnya sudah sangat menjamur saat ini di DKI Jakarta, karena dalam perda tersebut, setiap kecamatan, kelurahan, bahkan RW seharusnya ada perpustakaan. Sampai saat ini, Jakarta belum pernah memenangkan lomba perpustakaan desa tingkat nasional, karena memang belum setiap kelurahan ada perpustakaan. Padahal dalam Perda Pasal 4 Ayat 4 telah ditetapkan agar pemerintah daerah menyelenggarakan perpustakaan di setiap kelurahan. Jika ada pun perpustakaan di kelurahan, pengelolanya bukanlah orang yang mumpuni di bidangnya. Sehingga perpustakaan hanya asal ada sebagai syarat pemenuhan perda tetapi tidak diurus dengan baik.

Terkait dengan tenaga perpustakaan, pelatihan dan pembinaan harus dilakukan secara rutin dan terus menerus. Terutama bagi tenaga perpustakaan yang belum memiliki latar belakang atau pengetahuan tentang pengelolaan perpustakaan. Pendidikan dan pelatihan harus dimulai secara maraton dan cepat agar perpustakaan dapat berjalan sesuai standar yang ada. Di sekolah-sekolah negeri saja, masih sangat jarang tenaga perpustakaan yang berlatar belakang sesuai bidangnya, hal ini dikarenakan rekrutmen tenaga perpustakaan untuk sekolah masih sangat kurang. Selama ini, rekrutmen terfokus pada guru, padahal guru banyak yang kekurangan jam mengajar, dengan kata lain, berarti guru dirasa berlebih. Sehingga kekurangan tersebut diambilkan ke perpustakaan atau ke laboratorium.

Padahal perpustakaan seharusnya dikelola oleh ahlinya, bukan sembarangan orang. Sama halnya dengan mengajar, tidak bisa sembarangan orang boleh mengajar di bidang tertentu. Semua harus sesuai dengan bidang dan keahliannya. Bagaimana perpustakaan dapat berkembang dan berfungsi dengan baik jika tidak dikelola oleh ahlinya?

Pustakawan sebagai tenaga utama pengelola perpustakaan juga dibahas dalam Pasal 11. Tetapi pasal tersebut hanya menjabarkan tentang pustakawan yang PNS, sedangkan yang non-PNS tidak dibahas lebih detail. Bagaimana posisinya, apakah sama kedudukan dan tingkatannya? Di sini sangat terlihat sekali ketimpangan tersebut. Sehingga banyak sekali orang enggan berada di perpustakaan karena merasa tidak diperhatikan, dipandang sebelah mata, dan hanya sebagai pelengkap penderita. Padahal, seperti beberapa kali pengalaman lomba perpustakaan, justru perpustakaan dari sekolah swastalah yang dapat diandalkan untuk mewakili DKI Jakarta.

Sertifikasi dan peningkatan mutu tenaga perpustakaan atau pustakawan merupakan hal yang sangat penting. Tetapi tidak adanya kompensasi yang diberikan kepada yang telah mendapatkan sertifikasi juga menjadi kendala. Jika pendidik mendapatkan kompensasi atas sertifikasi yang didapatkan, kenapa pustakawan tidak? Lagi dan lagi, dari sisi ini, banyak orang enggan untuk serius mengurus dan mengembangkan perpustakaan. Belum lagi tentang pengangkatan kepala perpustakaan, sertifikasi kepala perpustakaan yang ada hitungan angkanya, hal ini hanya diperuntukkan untuk PNS, sedangkan untuk

Penulis: Umi As’adah, S.IP