Menyebarkan Cinta Kasih Melalui Ekstrakurikuler Bahasa Isyarat Tangan di SMP Cinta Kasih Tzu Chi
Pendidikan sejati lebih dari sekadar memperoleh pengetahuan akademis; ia mencakup pengembangan keterampilan, karakter, minat, dan bakat untuk keberhasilan hidup. Pendidikan holistik SMP Cinta Kasih Tzu Chi tak hanya mengajarkan budi pekerti tetapi juga menyediakan kegiatan ekstrakurikuler, salah satunya adalah bahasa isyarat tangan, yang mencerminkan nilai-nilai humanis sekolah ini.
Bahasa isyarat tangan di sekolah ini berasal dari pengalaman Master Cheng Yen di tahun 1981, saat ia kesulitan berkomunikasi dengan seorang anak tunarungu. Kini, bahasa isyarat tangan menjadi bagian dari ekstrakurikuler yang diikuti oleh 36 siswa kelas 7, 8, dan 9. Setiap Kamis pukul 14.00–15.30 WIB, mereka berlatih di ruang budaya humanis dengan bimbingan Bu Sundari dan Laoshi Henny. Kegiatan dimulai dengan pengarahan mengenai makna lagu yang akan dipelajari, disusul latihan gerakan dasar. Setiap gerakan isyarat tangan memiliki makna mendalam, dan saat digabungkan dalam formasi, menciptakan pesan moral yang selaras dalam gerak dan lagu.
“Di awal, banyak siswa merasa gerakan shouyu ini cukup sulit karena banyaknya gerakan yang harus dipelajari dan diingat,” kata Laoshi Henny. Namun, kesabaran dan latihan tekun membuat siswa semakin antusias, terlebih saat mereka tampil di berbagai acara sekolah seperti Tzu Shao, penyambutan tamu, dan kegiatan lainnya.
Michiyo, salah satu siswa baru, mengungkapkan, “Saya tertarik belajar isyarat tangan karena ini pengalaman baru, melatih otak dan gerakan tangan, dan saya jadi tahu beberapa gerakan dasar untuk berkomunikasi dengan tunarungu.”
Ekstrakurikuler ini tak sekadar belajar gerakan tangan, tetapi juga latihan kesabaran, konsentrasi, serta menyebarkan cinta kasih melalui gerak dan lagu yang mengandung ajaran Master Cheng Yen. Hal ini sesuai dengan renungan Master Cheng Yen: “Orang yang memahami teori belum tentu paham bagaimana menerapkannya, tetapi orang yang mampu menerapkannya tentu telah memahami teorinya dengan baik.”
Penulis : Sundari Dwi Riyanti