Fatherless: Ketiadaan Peran Ayah dalam Tumbuh Kembang Anak

Ada pepatah dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa “ibu adalah madrasah pertama,” yang mengandung makna peran ibu dalam pendidikan anak. Pendidikan pertama dimulai dari rumah, melalui peran ibu yang menjadi guru pertama bagi anak dan paling berpengaruh dalam kehidupan anak. Namun, pepatah ini sering menimbulkan persepsi bahwa tanggung jawab pendidikan karakter anak adalah tanggung jawab ibu, sehingga banyak dari sisi ayah merasa bahwa tugasnya hanya mencari nafkah, dan segala urusan pengasuhan terletak di tangan ibu semata.

Tentu saja, persepsi ini berubah tatkala fenomena fatherless muncul menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh dari ketiadaan peran ayah dalam keluarga terhadap kenakalan remaja. Peran keluarga yang tidak optimal akan menimbulkan kecemburuan sosial, kesepian, dan pengaruh terhadap perkembangan anak karena tidak hadirnya sosok seorang ayah yang bisa mengayomi mereka (Analisis dampak fatherless pada kenakalan remaja SMAN di Jakarta Timur, Azhary Pangestu Utami, 2021). “Fatherless absence is strongly linked to delinquency among adolescents” (Popenoe, 1996).

Keluarga adalah sebuah unit kecil dalam masyarakat, tempat seorang individu tumbuh dan berkembang. Normalnya, seorang anak akan dibentuk dan dipengaruhi oleh sikap dan tindakan orang tuanya. Jika keluarga memberikan pendidikan dan pengasuhan yang terbaik, mencurahkan perhatiannya kepada anak sehingga terdapat kelekatan antara orang tua dan anak, akan membentuk ketahanan dalam keluarga.

Fatherless bukanlah karena ayah yang sudah tiada, namun lebih pada ketiadaan perannya. Secara fisik, ayah ada, namun sosok kehadirannya absen dalam keluarga. Dimulai dari peran ayah sebagai suami hingga perannya sebagai ayah dalam keluarga. Seorang istri perlu mendapat dukungan dalam mengasuh anak dan melakukan tugas-tugas rumah tangga, namun kenyataannya ternyata karena kurangnya pengetahuan tentang ilmu parenting, seolah-olah semua tugas rumah tangga ada di pundak ibu. Banyaknya peran ayah yang diambil alih oleh ibu, khususnya dalam pengasuhan anak hingga penerapan peraturan untuk anak dalam keluarga, menjadikan anak asing dengan ayahnya. Tidak adanya bonding atau apa yang disebut dengan ikatan emosional yang kuat dan mendalam antara orang tua dengan anak.

Karena seorang anak yang mengalami fatherless akan berisiko terjadinya juvenile delinquency atau drop out dari sekolahnya. Ketiadaan peran-peran penting tersebut akan berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem), adanya perasaan marah (anger), malu (shame) karena berbeda dengan anak-anak lain, dan tidak dapat mengalami pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah yang dirasakan anak-anak lainnya. Dalam penelitian jurnal ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang mengalami fatherless akan mengalami atau merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), serta kehilangan yang amat sangat, serta rendahnya kontrol diri dan kecenderungan memiliki sifat yang susah diatur, seperti cepat marah, dan lain sebagainya yang tidak sepantasnya (Dampak Fatherless Terhadap Perkembangan Psikologis Anak. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Parenting Fakultas Psikologi: Universitas Persada Indonesia YAI, Arie Rihandini Sundari, S.Psi, M.Si dan Febi Herdajani, S.Psi, M.Si, Psi., 2013).

Hal inilah yang membuat anak berusaha memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan sosok teladan dari ayah yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan mencari pelarian di luar rumah hingga muncullah apa yang disebut dengan kenakalan remaja. Jika itu sudah terjadi, tentunya kita tidak dapat menyalahkan anak sepenuhnya atas kenakalan remaja yang dilakukan. Mengoreksi sikap anak boleh dilakukan, namun perlu dipastikan ada koneksi terlebih dahulu dari pihak ayah (connection before correction). Bangun kedekatan dengan anak dengan banyak melakukan aktivitas bersama, saling bicara walaupun hal-hal yang sederhana, luangkan waktu untuk ada saat anak berada dalam masalah, memberikan pendampingan hingga anak merasa dicintai. Hadir pada momen-momen terpenting dalam hidup anak, seperti pada saat anak tampil di panggung, saat wisuda, dan lain sebagainya, hingga anak tidak merasa sendiri. Dengan demikian, ketika sudah terdapat koneksi antara ayah dengan anak, ayah dapat mengoreksi apa-apa saja yang perlu anak perbaiki, tentu dengan cara yang baik, tidak dengan menghardik. Penuhi baterai kasih anak melalui perhatian berupa pujian, hadiah, pelayanan, waktu luang, dan sentuhan.

Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua yang hebat, oleh karena itu yang bisa kita upayakan adalah berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam tumbuh kembangnya.

Penulis: Tussi Triandini

Add a Comment

Your email address will not be published.