Mendidik Tanpa Mendadak
“Mendidik tidak bisa mendadak,” kalimat ini diucapkan oleh Ibu Betty Theresia, SE, MM, Wakil Direktur Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi pada acara Training Guru, Senin, 1 Juli 2024. Penulis merasa kalimat tersebut ditujukan langsung kepada kita. Dengan mengucapkan kalimat tersebut, Wakil Direktur mengajak kita kembali melihat diri kita sendiri sebagai seorang guru. Kalimat yang sederhana, namun memiliki makna yang mendalam.
Kalimat “mendidik tidak bisa mendadak” dalam Bahasa Indonesia memiliki rima yang sangat pas, seperti kata ulang yang berubah bunyi. Kata “mendidik” dan “mendadak” mudah diucapkan, tetapi memiliki arti yang sangat mendalam. Menurut KBBI, mendidik bermakna memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) soal akhlak dan kecerdasan. Sementara mendadak berarti tanpa diduga (diketahui, diperkirakan) sebelumnya; sekonyong-konyong.
Kedua kata tersebut sama-sama kata kerja, namun dengan makna yang berlawanan. Mendidik adalah tindakan sadar yang dilakukan oleh seorang guru terhadap murid-muridnya dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Sedangkan mendadak adalah tindakan yang dilakukan tanpa persiapan karena keadaan yang memaksa. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar.
Mendidik sesungguhnya adalah kewajiban seluruh lapisan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, masyarakat cenderung membebankan kewajiban tersebut hanya pada seorang guru. Masyarakat seakan abai bahwa untuk mewujudkan masyarakat berbudi pekerti luhur diperlukan peran serta semua orang. Masyarakat berharap penuh pada seorang guru untuk mendidik anak-anaknya. Mau tidak mau, guru mengambil tanggung jawab tersebut. Tidak ada guru yang sempurna, tetapi untuk menjadi guru yang baik bisa diusahakan oleh individu yang mengambil pilihan hidup menjadi guru.
Seorang guru yang berdiri di depan kelas diharapkan sudah mempunyai persiapan “tempur” yang cukup bahkan berlebih agar hasil yang ditetapkan tercapai. Seorang guru yang memasuki kelas kurang atau tanpa persiapan akan “terbaca” oleh murid-muridnya, sehingga menurunkan performa dan respek guru tersebut di mata murid-muridnya.
Persiapan “tempur” tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu persiapan akademis dan nonakademis.
- Persiapan Akademis
Persiapan akademis merupakan pilar ketiga dari profesionalitas seorang guru, sehingga guru dituntut untuk memiliki kemampuan ini dengan baik.
-Secara teknis, seorang guru pasti sudah lulus dari pendidikan tinggi formal yang memungkinkan guru tersebut mempunyai kompetensi akademis untuk mendidik siswa.
-Selain itu, seorang guru pasti juga pernah mendapatkan pembekalan berupa seminar, workshop, atau pelatihan untuk menambah kompetensinya. Kompetensi akademis ini menjadi salah satu dasar bagi guru tersebut untuk mendidik murid.
-Persiapan akademis juga meliputi penguasaan materi, persiapan materi, persiapan administrasi, dan sebagainya. Penguasaan materi dapat diperoleh dengan terus belajar dan mengupdate perkembangan materi yang terbaru. Persiapan materi sangat penting bagi seorang guru. Pada tahap inilah guru memikirkan dan/atau membuat PPT, alat peraga, link video, teks bacaan, LKPD teori maupun LKPD praktik.
-Mempelajari teknik dan metode mengajar serta belajar menggunakan berbagai aplikasi untuk menunjang pembelajaran sangat diperlukan oleh guru.
- Persiapan Nonakademis
Guru juga dituntut memiliki kepribadian yang patut dicontoh oleh siswa. Kepribadian meliputi cara berpenampilan, bertingkah laku, berbicara, merespon tindakan/ucapan, mengendalikan emosi, dan sebagainya.
-Penampilan Guru:
Penampilan guru merupakan hal yang sangat penting, karena ketika seorang guru berdiri di depan kelas, ia menjadi pusat perhatian murid-muridnya. Guru menjadi pusat perhatian, sehingga yang harus terlihat oleh siswa adalah kerapian dan keindahan seorang guru. Pakaian dan riasan menjadi poin yang sangat penting. Pakaian yang dikenakan oleh seorang guru harus mencerminkan kewibawaannya. Oleh karena itu, harus terlihat bersih, rapi, dan wangi. Riasan juga penting; bagi guru wanita, wajah terlihat segar adalah keharusan. Tidak hanya untuk guru wanita, guru pria pun harus memperhatikan riasan rambutnya agar terlihat rapi dan menarik dengan menjaga kondisi rambut dalam keadaan pendek dan sopan. Tampilan air muka juga diusahakan membuat siswa-siswi nyaman untuk memandangnya. Pandangan matanya diusahakan ramah dan bersahabat, bukan pandangan curiga atau meremehkan.
-Bertingkah Laku:
Guru adalah manusia dewasa di tengah-tengah anak-anak dan remaja, sehingga tentu menjadi role model bagi mereka semua. Manusia dewasa diharapkan dapat berperilaku selayaknya orang dewasa. Guru harus bisa mengendalikan perilakunya dengan benar. Sebaiknya guru menghindari sentuhan fisik langsung terhadap siswa. Sentuhan fisik yang bukan dimaksudkan untuk menolong atau mengajari sesuatu sebaiknya tidak dilakukan oleh guru. Menghindari sentuhan fisik kepada siswa sangat dianjurkan, terutama untuk siswa-siswi usia belasan, antara kelas 5 SD sampai dengan 12 SMA/SMK. Demikian juga tingkah laku ketika berada di dalam kelas, tidak berlebihan dan sewajarnya. Membagi perhatian untuk 36 siswa dalam satu kelas tentu bukan perkara mudah, untuk itu guru dituntut bisa melakukannya. Jangan hanya memperhatikan siswa-siswi tertentu saja. Selain itu, hindari kedekatan secara emosional yang berlebihan.
–Berbicara:
Guru mana yang tidak pernah berbicara, entah itu untuk menyapa atau menjelaskan. Pada saat berbicara, perhatikan volume suara—tidak pelan dan tidak teriak-teriak. Volume suara harus terdengar jelas oleh seluruh siswa dalam kelas. Nah, pada saat guru berbicara, gunakan kata-kata dengan bijak, kata-kata yang menguatkan, bukan kata-kata yang mematahkan hati siswa. Sesekali berkata agak keras untuk mendisiplinkan boleh saja, tetapi bukan kata yang merendahkan, menghina, atau mengintimidasi sekalipun hanya bercanda.
–Merespon Tindakan/Ucapan:
Ketika berada di dalam kelas, banyak situasi yang terkadang tak terkendali karena antusiasme siswa. Guru diharapkan dapat merespon tingkah laku siswa dengan tepat. Contoh: jika siswa melakukan tindakan yang membahayakan diri atau orang lain, maka guru harus sigap menghentikannya. Demikian juga ketika siswa mulai mengucapkan kata-kata kotor atau kasar, guru harus segera menegurnya sehingga tidak berlarut-larut menjadi kebiasaan.
-Mengendalikan Emosi:
Sebagai manusia biasa yang memiliki emosi, tak jarang guru juga terpancing emosinya ketika menghadapi siswa. Ketika dalam situasi seperti itu, keinginan untuk melampiaskan emosinya pasti sangat besar. Guru hendaknya dapat mengambil waktu untuk meredakan emosi sejenak agar tak terjebak pada emosi yang merusak.
Penulis sangat setuju dengan kalimat “mendidik tidak bisa mendadak” yang diucapkan oleh Wakil Direktur karena sejalan dengan salah satu kata perenungan dari Master Cheng Yen, yaitu bahwa pendidikan anak adalah mengajarkan tata krama, mengasuh budi pekerti, menunjukkan jalan, dan memandu ke arah yang benar. Semoga dengan kalimat sederhana itu, kita semua yang telah memilih profesi sebagai guru dapat menjadi guru yang menginspirasi siswa.
Penulis: Heny Triwulandari