Menghidupkan Tanggung Jawab Enigma Wajah Pada Seorang Guru

Profesi guru di Indonesia merupakan salah satu profesi yang sangat mulia dan berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang guru tidak hanya bertugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral yang besar dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa. Dalam menjalankan tugas ini, seorang guru harus mampu memahami muridnya, baik secara intelektual maupun emosional, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik.

Dalam pandangan filsafat Emmanuel Levinas, terdapat konsep yang relevan untuk menggambarkan hubungan antara guru dan murid, yaitu enigma wajah. Konsep ini menekankan bahwa setiap interaksi manusia, termasuk antara guru dan murid, adalah sebuah panggilan etis yang mendalam. Saat seorang guru berhadapan dengan murid-muridnya di kelas, guru tidak hanya melihat mereka sebagai individu yang membutuhkan ilmu, tetapi juga sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan emosional dan moral yang unik.

Menurut Levinas, wajah seseorang mencerminkan kerentanan dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi panggilan bagi kita untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, wajah murid menjadi panggilan bagi guru untuk mendidik dengan empati, perhatian, dan kesungguhan. Seorang guru tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi juga bertanggung jawab untuk membimbing muridnya menjadi pribadi yang lebih baik, terlepas dari latar belakang atau tantangan yang dihadapi.

Profesi guru selaras dengan prinsip-prinsip enigma wajah yang menekankan panggilan etis, tanggung jawab tanpa syarat, dan relasi asimetris. Panggilan etis yang tidak dapat diabaikan, guru harus memperhatikan setiap murid, terlepas dari latar belakang, kemampuan, atau kesalahan yang mungkin mereka lakukan. Seorang murid yang sering melanggar aturan tetap harus diperlakukan dengan empati. Guru dapat mencari akar permasalahan perilaku tersebut, misalnya, masalah di rumah atau tekanan emosional, dan memberikan bimbingan untuk membantu murid berkembang.

Tanggung jawab tanpa syarat, guru memiliki tanggung jawab asimetris yang lebih besar terhadap murid, bahkan jika murid tidak selalu merespons dengan baik. Seorang guru di sekolah terpencil yang menghadapi keterbatasan fasilitas tetap berusaha memberikan pendidikan terbaik, meskipun menghadapi tantangan seperti jumlah siswa yang besar atau minimnya dukungan teknologi. Relasi asimetris dengan keutamaan orang lain, dalam hubungan guru-murid, guru mengutamakan kebutuhan murid di atas kepentingan pribadi. Guru yang menghabiskan waktu ekstra untuk memberikan les tambahan kepada siswa yang kesulitan memahami pelajaran tanpa meminta imbalan.

Konsep enigma wajah dapat menjadi pedoman bagi guru untuk menciptakan hubungan yang bermakna dengan murid. Melihat murid sebagai individu unik, setiap murid memiliki cerita, kebutuhan, dan potensi yang berbeda. Guru dapat membangun pendekatan yang personal dalam mendidik. Mendukung murid, selain prestasi akademik, guru juga perlu memperhatikan kesehatan mental dan sosial murid. Guru juga menjadi teladan moral dengan menunjukkan sikap empati, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap interaksi, sehingga menjadi inspirasi bagi murid.

Oleh karena itu, profesi guru bukan sekadar tentang mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan tentang membangun hubungan yang manusiawi dan bermakna. Guru adalah mentor moral yang membantu murid berkembang sebagai individu yang utuh. Untuk mendukung tugas mulia ini, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan perhatian lebih kepada kesejahteraan dan pengembangan profesional guru. Dengan demikian, guru dapat menjadi teladan yang mencerdaskan bangsa dan membentuk masyarakat yang lebih empatik dan manusiawi.

Penulis: Dedi Pramana Yehuwa, S.Th.

Add a Comment

Your email address will not be published.